-->

Thursday 22 August 2019

Secarik Tulisan Waris Adat Jawa


Dari beberapa postingan penulis yang banyak dilihat mengenai jawa. Maka, kali ini penulis akan menulis mengenai jawa yang berhubungan dengan warisan.

Gambar : Adat Jawa

Memahami hikayat jawa perlu beberapa poin yang harus diketahui. Sepertihalnya norma, kebiasaan maupun dengan adat istiadatnya. Apabila ada masalah yang muncul semisal dengan adanya akulturasi budaya-agama. Seperti halnya masyarakat yang terbiasa memberikan harta waris dari si mayit kepada beberapa ahli warisnya. 

Semisal seorang pemuda meninggal dunia, ia meninggalkan isterinya serta anak perempuan, disitu masih ada satu kakek serta tidak mempunyai saudara. Maka ahliwarisnya semua mendapatkan . Namun apakah hal tersebut terjadi pada hukum adat jawa?

Hukum yang berkembang ditengah masyarakat yang hari ini kita kenal dengan istilah hukum adat merupakan nilai yang sejak lama diakui. Menurut supomo, hukum adat waris memuat beberapa aturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud.

Nilai-nilai yang diakui masyarakat ini khususnya jawa mempunyai sistem parental. Apa itu? 
yaitu sebuah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak Bapak dan Ibu. Sehingga kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewarisi adalah sama.

Maka dari hal tersebut terkuaklah pertanyaannya, dari adanya isteri, seorang anak perempuan dan kakek maka ahli waris merupakan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga  (brayat) dari si mayit. 

Demikian, semoga bermanfaat, serta ada yang mau menambahkan silahkan.

Memang Hidup Perlu untuk memandang kedepan, Namun Jangan Sampai Lupakan Sejarah
Ref :
 Hukum Online
 Sutrisno Purwo Hadi Mulyono, Bentuk-Bentuk Penerapan Norma Hukum Adat Dalam Kehidupan Masyarakat di Jawa Tengah, Jurnal Media Hukum, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 20, No. 2, 2013.

Thursday 2 February 2017

Asal Mula Kota Ajibarang batch 2 (Rumput hijau ala Permadani)


Suatu ketika, adipati Munding Wilis dan istrinya menyamar sebagai petani kecil, pergi meninggalkan kadipaten. Semula mereka bertekad ke gunung Mruyung, tempat perkampungan para pemberontak untuk mencari bayinya. Namun niat itu diurungkan mengingat bahaya yang membawa resiko besar mereka pun berjalan ke arah lain.
Bayi yang masih merah itu kini sudah sampai di Gunung Mruyung. Dedengkot berandal Abulawang dan istrinya memang belum di karuniai anak. Bayi yang dibawa itu diberi nama Jaka Mruyung. Dari tahun ke tahun Jaka Mruyung pun tumbuh menjadi seorang remaja yang tampan. Kepribadiannya menarik dan hatinya baik. Berbeda dengan tindakan kedua orangtua angkatnya yang pekerjaanya perampok dan berjudi.
Karena tidak senang melihat tingkah laku kedua orang tua angkatnya, diam-diam Jaka Mruyung meninggalkan rumahnya. Dengan menunggang kuda Dawuk Ruyung dan membawa perbekalan yang cukup, Jaka Mruyung menuju ke arah timur. Sekian lama naik turun Gunung, keluar masuk kampung, sampailah Jaka Mruyung dikawasan Dayeuhluhur. Di sana Jaka Mruyung bertemu dengan seorang pemilik kuda. Ia pun sempat menginap di rumah itu. Ternyata kakek pemilik kuda ini bukan orang sembarangan. Ia bekas Prajurit Kerajaan Majapahit dan kini menjadi seorang Mranggi, Jaka Mruyung banyak mendapat pelajaran dan pengalaman. Membaca, menulis, membuat keris, dan ilmu keprajuritan telah dikuasainya. Setelah enam tahun Jaka Mruyung pun pamit dan berpesan kepada Ki  Mranggi agar pedukuhan ini sepeninggalnya kelak diberi nama Dukuh Penulisan, karena di tempat inilah ia bisa menulis.

Setelah berhari-hari menempuh perjalanan jauh,   sampailah di perbatasan Kadipaten Kutanegara. Di tempat itu ia pun melepas kan lelahnya. Sambil memuji kebesaran Tuhan ia menyakaikan keindahan alam sekitarnya. Si Dawuk Ruyung yang sudah tua itu makan rumput sekenyang-kenyangnya. Jaka Mruyung memandang rumput hijau itu bagaikan permadani yang digelar (dalam bahasa Jawa gumelar). Tempat itu kemudian disebut dukuh Gumelar.

Monday 30 January 2017

Sejarah Kota Ajibarang batch 1

Asal mula Kota Ajibarang
(Penyerangan Kadipaten)
Negeri galuh pangakuan sedang dilanda cobaan berat. Musim kemarau yang berkepanjangan menimbulkan berbagai kesengsaraan rakyat. Wabah penyakit dan bermacam-macam tindak kriminal meningkat. Sementara para punggawa  dan hulubalang belum mampu menghadapinya. Arya munding wilis yang menjadi adipati kala itu memeng sedang diuji. Belum selesai mengatasi kesulitan yang satu timbul masalah lain. Dalam kesedihan menghadapi keadaan negeri yang sedang terancam itu, isterinya yang sedang hamil menginginkan daging kijang berkaki putih. Demi cintanya kepada sang isteri, berangkatlah adipati munding wilis dengan kuda dawuk ruyung kesayangannya. Hanya ditemani dua pengawalnya, berhari-hari sang adipati tak mengenal lelah dalam mencarinya. Namun suda smpai sebulan belum nampak hasilnya.
Ketika mereka mencoba berburu ke arah timur menyusuri sungai Citandui sampailah sang adipati beserta pengawalnya di suatu grumbul. Ternyata adipati Munding Wilis terjebak di tengah perkampungan para berandal yang sering membuat kerusuhan disekitar kadipaten. Di grumbul Gunung Mruyung ini Sang Adipati beserta dua pengawalnya sudah dikepung para berandal dan perampok tampak garang itu. Adipati munding wilia itu  tak dapat berbuat banyak kecuali membiarkan para perampok melucuti pakaian dan semua barang bawaanya, termasuk kuda dan senjatanya. Bukan itu saja, Abulawang, dedengkot brandal yang paling disegani brandal lainnya, mengancam akan merampok ke kadipaten. Sang Adipati pun terpaksa pulang tanpa membawa hasil kecuali kesedihan yang smakin bertambah.
Sesampainya di Kadipaten kesedihan sang Adipati sedikit terobati bahkan gembira karena putranya yang ditunggu-tunggu telah lahir. Semakin gembiralahbia setelah ditunjukan adanya tanda hitam di lengan kiri bayi itu, yanh konon merupakan "toh wisnu". Artinya, bayi ini kelak akan menjadi seirang yang besar berbudi luhur dan bijaksana
Ternyata kegembiraan di Kadipaten itu tak berlangsung lama. Pada malam ke empat hari lahirnya bayi, tiba-tiba para perampok yang begitu banyak jumlahnya menyerbu ke Kadipaten. Para prajurit kewalahan menghadapi keganasan para perampok. Mereka segera menyebar memasuki semua ruangan dan kamar di Dalam Kadipaten. Semua barang diangkut, lumbung padi dan jagung habis disikat. Belum puas kemarahannya, istana kadipaten dibakar. Api pun menjalar  ke mana-mana.
Untunglah sang Adipati beserta gusthi putri yang disembunyikan ki juru Taman selamat. Tetapi nasib bayi yang ditunggungi dua orang emban itu menggelisahkan hati Sang Adipati dan Guthi Putri. Setelah diketahui putra mungil yang di cintainya itu, dibawa lari salah seorang perampok, keduanya sampai lemas dan sampai Gusthu Putri pingsan.
Bersambung di episode selanjutnya..
Tetap baca blog subhanfie yah... Nantikan ceritanya lagi...
(Banyumas : Wisata dan Budaya).