Pematangan Budaya
Politik dan Demokratisasi
Oleh Wayan Gede Suacana
BUDAYA politik biasanya
berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) perseorangan, yang merupakan
dasar semua tingkah laku politik masyarakat. Sementara sistem nilai yang hidup
di tengah-tengah masyarakat merupakan komponen penting bagi pembentukannya yang
merupakan refleksi terhadap orientasi, sikap dan perilaku politik masyarakat
dalam merespons setiap objek dan proses politik yang sedang berjalan.
-----------------------
Para
ilmuwan politik yang sangat berperanan dalam mengembangkan teori kebudayaan
politik, seperti Gabriel Almond, Sidney Verba dan Lucian W.Pye, hampir setengah
abad yang lampau telah merintis sebuah riset tentang keterkaitan antara budaya
dan politik. Mereka menyatakan bahwa setiap proses politik senantiasa terjadi
dalam lingkup budaya. Artinya, dalam jangka waktu tertentu akan selalu terjadi
proses dialektika antara kehidupan politik di satu pihak dengan sistem nilai
budaya masyarakat di pihak lain.
Budaya
politik sendiri merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara di
dalam sistem politik itu. Oleh karena itu, ia tidak lain dari orientasi
psikologis terhadap objek sosial -- dalam hal ini sistem politik -- yang
kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat
kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan
evaluatif (penilaian).
Budaya
politik juga merupakan rangkaian kepercayaan, kebiasaan dan perilaku yang
berkaitan dengan kehidupan politik. Ia pada hakikatnya merupakan lingkungan
psikologis tempat kegiatan-kegiatan politik berlangsung yang memberikan
rasionalisasi untuk menolak atau menerima sejumlah milai dan norma lainnya.
Dalam
derajat yang tertinggi, budaya politik umumnya akan dapat membentuk aspirasi,
obsesi, preferensi dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang
diakibatkan oleh perubahan politik. Dengan sikap dan orientasi seperti itu,
disertai dengan adanya determinan nilai-nilai keunggulan lokal (local genius)
maka akan dapat dijumpai berbagai tipe budaya politik lokal yang berbeda-beda
di berbagai daerah.
Tipologi dan Pematangan
Apabila
diikuti terminologi Almond dan Verba, maka dalam kehidupan masyarakat dapat
dijumpai setidaknya tiga tipe budaya politik, yaitu masyarakat dengan budaya
parokial, kawula, dan partisipan. Di dalam sebuah masyarakat di mana sikap dan
orientasi politiknya sangat didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif
maka akan membentuk budaya politik yang parokial. Masyarakat sama sekali tidak
menyadari untuk apa mereka melakukan kegiatan politik. Kesadaran kognitif
politiknya terbatas pada pengetahuan bahwa kekuasaan politik memang ada dalam
masyarakat, dan keikutsertaannya lebih banyak karena mobilisasi, solidaritas
atau ikut-ikutan.
Dalam
sebuah masyarakat yang mempunyai kecenderungan sikap dan orientasi politik
dengan karakteristik yang bersifat efektif, maka akan membentuk budaya politik
yang bersifat kaula. Masyarakatnya cenderung bersifat nrimo karena merasa tak
mampu mengubah sistem politik, sehingga tiada jalan lain baginya kecuali patuh,
setia dan mengikuti segala instruksi serta anjuran pemimpin politiknya.
Sementara
masyarakat yang sangat dominan memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana
warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang sedang
berjalan, akan membentuk sebuah budaya politik yang partisipan. Masyarakat
sudah mulai melibatkan diri secara intensif dalam berbagai kegiatan politik.
Mereka bisa merupakan anggota aktif ormas atau parpol, atau anggota masyarakat
biasa yang dapat menilai dengan penuh kesadaran baik sistem politik sebagai
totalitas, masukan atau keluaran kebijakan pemerintah, maupun posisi dirinya
sendiri dalam berpolitik.
Proses
pematangan budaya politik, menurut Nazaruddin Sjamsuddin, pada dasarnya
melibatkan tahap penyerasian antara budaya politik lokal dengan struktur
politik nasional. Budaya politik lokal yang sudah kukuh -- karena telah ada
jauh sebelum masa kemerdekaan -- akan diserasikan dengan struktur politik
nasional yang baru tumbuh dan berkembang sejak kemerdekaan. Menurutnya,
berbagai wujud budaya politik lokal yang ada pada dasarnya cukup mencerminkan
bagaimana hubungan suatu daerah dengan pengaruh yang datang dari luar.
Budaya
politik lokal yang ''berwarna keras'' melahirkan daerah yang tertutup terhadap
pengaruh nilai-nilai dari luar, sekalipun nilai-nilai tersebut belum tentu
bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ada. Sebaliknya, budaya politik
lokal yang ''berwarna lunak'' akan lebih bersifat terbuka, karena lebih mudah
berinteraksi dengan masyarakat yang mempunyai nilai yang berbeda.
Budaya Politik Demokratis
Budaya
politik lokal sampai dengan saat ini diyakini masih bersifat parokial di satu
pihak dan kawula di pihak lain. Sebagian besar masyarakat lokal masih jauh
tertinggal dalam hak dan kewajiban politiknya akibat pengalaman politik masa
lalu, seperti imperialisme, feodalisme dan patrimonialisme. Hanya sebagian
kecil elite politik, dan masyarakat (perkotaan) -- terbanyak di Jawa -- yang
sudah memiliki budaya partisipan, karena ditopang oleh kemampuan sosial ekonomi
dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi.
Tipe
budaya politik parokial kaula ini berkecenderungan melahirkan kecenderungan
sikap dan perilaku yang sangat militan ketimbang toleran. Dalam tingkat
militansi yang tinggi, perbedaan tidak diarahkan pada usaha musyawarah untuk
mufakat, tetapi (bahkan) dianggap sebagai pertentangan pendapat dan keyakinan.
Masalah perbedaan sering ''dipribadikan'' sehingga bersifat sangat sensitif,
dapat membakar emosi dan menimbulkan konfrontasi.
Oleh
karena itu, sebagai konsekuensinya, kalangan pemerintah dan wakil rakyat, baik
di Pusat maupun Daerah, harus mengambil langkah-langkah strategis guna
mewujudkan budaya politik demokratis/partisipan, yang mendukung terbentuknya
sebuah sistem politik yang demokratis dan stabil. Kepentingan dan aspirasi
rakyat harus menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan pemerintah,
sebab kalau tidak demikian rakyat akan mengalami deprivasi, sehingga
menimbulkan kekecewaan.
Besar
kemungkinan rakyat tidak memilih pemimpin yang dianggap tidak aspiratif dan
reponsibel. Sebaliknya, kalau rakyat merasa tidak berkompeten untuk terlibat
dalam proses politik, maka implikasinya peranan pemerintah dalam
penyelenggaraan negara menjadi sangat dominan. Pada kondisi demikian, rakyat
hanya menjadi sasaran kebijakan pemerintah dan menjadi subjek yang dapat
dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah.
Dalam
studi yang dilakukan oleh Almond dan Verba ditemukan bahwa negara-negara yang
mempunyai budaya politik yang sudah matang akan menopang demokrasi yang stabil.
Sebaliknya, negara-negara yang memiliki derajat budaya politik yang belum
matang tidak mendukung terwujudnya demokrasi yang stabil. Kematangan budaya
politik tersebut ditunjukkan dengan peluang yang diberikan oleh negara kepada
masyarakat untuk mandiri, sehingga memiliki tingkat kompetensi yang tinggi.
Demokratisasi
dan budaya politik demokratis hanya bisa diciptakan setelah melalui proses
sosialisasi politik. Proses ini mewariskan berbagai nilai politik dari satu
generasi ke generasi berikutnya, lewat berbagai agen, seperti keluarga, teman
sepergaulan, sekolah/perguruan tinggi, dan media massa yang menghasilkan
individu mandiri. Walau demikian, demokratisasi yang kuat dan meluas serta
perwujudan sistem politik yang demokratis dan stabil, tidak akan pernah muncul,
bila budaya politik kita masih didominasi oleh pola hubungan yang bersifat
hirarkis, patronage serta gejala neo-patrimonialisme.
No comments:
Post a Comment